Foto: canva.com
Jakarta, Boksman - Permasalahan tentang Bahan Bakar Minyak (BBM) memang terus menjadi perbincangan di masyarakat. Usai kenaikan harga BBM jenis Pertamax per 1 April 2022 lalu, disinyalir menyebabkan sebagian konsumennya beralih ke Pertalite.
Hal ini sempat menyebabkan kelangkaan, bahkan sekarang masyarakat mengeluhkan soal pasokan solar bersubsidi yang mulai langka di pasaran.
Baca Juga: Serupa Tapi Tak Sama, Ini Perbedaan Truk Tronton dengan Truk Trailer
Menanggapi hal ini, Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) secara resmi mengusulkan agar pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk mencabut subsidi solar tersebut bagi armada (truk) angkutan barang/kontainer logistik.
Hal ini dikarenakan subsidi pada solar yang justru membuat antrean panjang, sehingga berdampak pada keterlambatan waktu pengiriman barang.
"Kami melihat permasalahan ini selalu berulang dari tahun ke tahun. Bagaimana truk-truk pengangkut barang ini harus mengantre berjam-jam, bahkan seharian lebih hanya untuk mendapatkan solar bersubsidi. Dari tahun ke tahun selalu seperti itu. Artinya ada (kebijakan) yang salah," kata Ketua Umum DPP ALFI, Yukki Nugrahawan Hanafi.
Kebijakan tersebut memang membuat truk logistik harus antre demikian lama, perusahaan logistik pun harus menanggung komplain dari pelanggan karena kiriman barang yang menjadi lebih lama untuk sampai di tujuan.
Bukan hanya itu, biaya logistik juga berpengaruh karena waktu pengiriman yang menjadi demikian lama menyebabkan perusahaan logistik harus membayar demurrage sebesar Rp 650 ribu per hari. Ini tentu saja membuat biaya operasional membengkak.
"Padahal solar (bersubsidi) itu hak kami, tapi sangat susah didapatkan. Berdasar informasi dari anggota kami di lapangan, ada indikasi solar bersubsidi ini justru diborong oknum tertentu untuk dijual ke industri perkebunan dan pertambangan yang harusnya mengkonsumsi Dexlite," tutur Yukki.
Baca Juga: Hasil Merger Pelindo: Kinerja Operasional Pelabuhan Peti Kemas Lebih Cepat!
Yukki menjelaskan, bahwa praktik penyelewengan di lapangan ini dapat terjadi lantaran adanya perbedaan mencolok antara harga solar non subsidi (dexlite) yang sekitar Rp12.150 hingga Rp13.200 per liter dimana harga solar bersubsidi (biodiesel) hanya Rp5.150 per liter.
Perbedaan harga yang cukup tinggi itu, memang sangat berpotensi untuk memunculkan spekulan atau tengkulak yang akhirnya membuat kebijakan pemberian subsidi dari pemerintah yang niatnya bagus, namun jadi tidak tepat sasaran.
"Dari pemikiran itu lah kami berkesimpulan baiknya tidak usah ada lagi solar bersubsidi. Cukup ada satu jenis solar (dexlite) saja di SPBU. Dengan begitu bagi kami para pengusaha, justru ada kepastian," tutur Yukki.
Meski demikian, usulan penghapusan BBM solar bersubsidi, diakui Yukki merupakan pilihan yang sulit untuk ALFI sendiri dan seluruh anggotanya terpaksa menaikkan tarif pengiriman.
Hal ini dikarenakan BBM merupakan komponen terbesar dalam biaya angkutan barang untuk perusahaan logistik.
"Tapi bagi kami itu lebih realistis. Ketimbang secara kebijakan seolah-olah ada subsidi tapi toh manfaatnya tidak sampai juga ke kami. Maka sebaiknya sekalian tidak perlu ada (solar bersubsidi) saja. Sekarang tinggal pemerintah seperti apa. Yang jelas usul sudah kami sampaikan, tinggal pemerintah yang memutuskan," tegas Yukki.
Sumber:
- https://m.jpnn.com/news/usul-agar-subsidi-solar-dicabut-alfi-beberkan-alasannya
- https://www.idxchannel.com/economics/mencoba-realistis-alfi-usulkan-subsidi-solar-dicabut