Foto: canva.com
Jakarta, Boksman - Supply Chain Indonesia (SCI) menilai kalau Indonesia saat ini sedang menghadapi darurat regulasi logistik. Hal ini berkaitan dengan implementasi Perpres 26/2012 tentang Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional (Sislognas) sebagai payung hukum sektor logistik yang dikeluarkan hampir 10 tahun lalu rupanya tidak berjalan secara efektif.
Sislognas sendiri merupakan suatu sistem yang menjamin berlangsungnya suatu proses pergerakan atau distribusi barang baik material maupun produk jadi dari satu tempat ke tempat lain dengan baik dan sesuai dengan skema nasional.
Chairman Supply Chain Indonesia (SCI) Setijadi mengatakan kalau tanpa cetak biru Sislognas yang efektif, program Kementerian/Lembaga dalam logistik akan sulit untuk diimplementasikan secara optimal.
Baca Juga: Kemacetan di Tanjung Priok Makin Parah, Apa Penyebabnya?
Menurutnya, pencapaian road map dan aksi, Sislognas terbilang rendah serta tidak ada evaluasi atau pengawasan secara berkala. Belum adanya tools evaluasi secara organisasional, menyebabkan implementasi Sislognas oleh kementerian/lembaga terkait tidak dapat dievaluasi.
"Dengan begitu, SCI kembali menyampaikan tiga rekomendasi utama pengembangan sistem logistik. Pertama, pencabutan Perpres 26/2012 dan penetapan regulasi baru minimal dalam bentuk Peraturan Pemerintah agar lebih kuat implementasinya," ucap Setijadi.
Menurutnya penyesuaian perlu dilakukan pada pembangunan dan pola bisnis global. Lalu, perlu adanya pembentukan Badan Logistik Nasional yang mengawasi pelaksanaan dan pengembangan sistem logistik. Terakhir, peembentukan UU logistik juga perlu ada regulasi yang efektif.
Jika tidak ada regulasi yang jelas, berbagai isu logistik akan sulit diatasi. Misalnya saja biaya ketidakseimbangan volume muatan antar wilayah, logistik yang tinggi, kelangkaan komoditas tertentu, dan tumpang tindih regulasi.
Bukan hanya itu, LPI (Logistics Performance Index) akan lebih rendah daripada negara-negara ASEAN lainnya. Sebagai contoh di tahun 2018, LPI Indonesia berada di peringkat 46, di bawah Singapura (peringkat 7), Thailand (32), Vietnam (39), dan Malaysia (41).
Baca Juga: Bukan Hanya Cost Berkurang, Ini Manfaat Tracking Apps Bagi Perusahaan Peti Kemas
Seperti yang tadi disebutkan, salah satu persoalan yang sedang dihadapi Indonesia adalah kenaikan biaya logistik yang kian hari makin mengalami kenaikan. Kalau terus dibiarkan, ini akan berpengaruh pada laju inflasi yang ada di Eropa dan Amerika.
Per Oktober 2021, biaya logistik sudah mengalami kenaikan, sementara garis besar hukum Sislognas tidak jalan karena berbeda.
Sementara itu, Kepala Badan Logistik & Rantai Pasok Kadin Indonesia Akbar Djohan menyatakan sebagai pihak yang terlibat dalam kelahiran Sislognas, dia mengakui kalau penerapannya memang belum terlaksana dengan utuh. Untuk itu, Kadin Indonesia membentuk badan yang khusus menangani logistik dan rantai pasok nasional.
Terkait dengan darurat regulasi, dia mengingatkan kalau pembenahan logistik tidak selamanya membutuhkan regulasi baru. Akbar mengatakan regulasi juga bisa menghambat dan berbiaya tinggi jika tidak tepat sasaran.
Pada akhirnya, regulasi logistik memang perlu tepat sasaran dan waktu agar tidak menjadi bumerang sehingga dia berharap pemerintah tidak berlomba-lomba melahirkan regulasi.
Terpenting baginya, pemerintah dapat memberikan solusi berupa regulasi yang memang dibutuhkan, baik itu tingkat pusat, kementerian atau lembaga, maupun daerah. Hal inilah yang harus dikaji lebih dahulu supaya tidak terkesan dan terburu-buru melahirkan regulasi. Kita juga harus berhati-hati dan selektif dalam hal memproduksi regulasi,” tutupnya.
Sumber: